Jika ada pilihan selain ini, aku pasti
memilihnya. Aku tak mungkin menomor satukan ayah sementara kakek adalah lelaki
pertama yang selalu menyapaku setiap pagi. Pun aku tak bisa menomor duakan ayah
karena ia adalah lelaki pertama dan satu-satunya yang menyukai apapun yang aku
lakukan.
Jika bisa kujelaskan, separuh dari paru-paruku ini
milik ayah, sementara bagian lainnya milik kakek. Mereka adalah dua lelaki
favoritku di dunia ini. Alasanku hidup dan bernafas hanya demi mereka. Selebihnya,
aku bahkan tak pernah tahu apa tujuanku melakukan perjalanan panjang ini.
***
Kakek adalah tokoh pertama yang
membuatku bermimpi tanpa batas. Ia selalu menceritakan padaku betapa negara ini
membutuhkan pahlawan seperti aku. Beliau adalah orang pertama yang membuatku
tahu sejarah Indonesia. Ekonomi, politik, sejarah, dan pancasila adalah makanan
sehari-hari yang selalu ia ceritakan padaku. Loyalitasnya terhadap
bela negara sangat tinggi. Kakekku bukan siapa-siapa, lelaki berambut putih itu
hanyalah sisa-sisa veteran yang pernah berjuang dimasa mudanya. Saat ini ia
hanya memiliki kenangan tempo dulu yang masih membayanginya, membuatnya semakin
cinta negara ini.
Cita-citanya baik sekali, ia tak ingin
negara ini kembali ke genggaman bangsa kulit putih. Ia hanya ingin semangatnya
bisa diwariskan pada keturunannya.
Tapi seorang anak manusia telah menghancurkan
harapannya. Anak satu-satunya yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tak mampu menjadi
seperti apa yang diinginkan. Anak itu tak mampu menjadi seorang polisi,
tentara, politikus, atau apapun, yang setidaknya berguna bagi kelangsungan
negara demi meneruskan cita-cita ibu pertiwi. Anak muda yang menghancurkan harapan kakek
kesayanganku itu tak lain adalah ayahku.
***
Ayah, pria bertubuh jangkung dan
berkulit sawo matang itu adalah salah orang favoritku selain kakek. Aku tak
pernah menyebut ayah nomor satu, atau dua. Bagiku, kakek dan ayah berada disatu
level yang sama. Satu level ditubuhku, satu level di paru-paruku.
Ayah bekerja disalah satu perusahaan IT
milik negara asing. Pekerjaannya membuat animasi game. Keahliannya cukup
mumpuni dibidang teknologi.
Cara berpikir ayah sangat logis, itulah
daya tariknya. Ia tak suka bertele-tele. Sifatnya keras kepala namun
tegas, mungkin inilah salah satu sifat yang ia turunkan padaku.
Dari sinilah, kakek tidak menyukainya.
Kakek berasumsi bahwa ayah tidak mencintai negaranya. Ia bahkan memilih
perusahaan asing sebagai tempatnya bekerja. Secara tidak langsung itu akan mematikan
perusahaan-perusahaan kecil di Indonesia.
sumber |
***
Hubungan tidak mengenakkan itu terjadi
sudah hampir 20 tahun lalu, tepatnya ketika ayah memutuskan bekerja
diperusahaan asing itu. Hingga saat ini kondisi hubungan mereka tidak terlalu
baik. Sapaan selamat pagi, ajakan makan malam bersama, atau sekedar meminta
tolong membetulkan kran yang bocor hanya sepintas lalu saja. Selepasnya mereka kembali
menyibukkan diri masing-masing. Awalnya aku tak mengerti kenapa ayah bersikap
seperti itu, pun kakek yang tak pernah menghargai keinginan ayah, namun lambat
laun waktu menjawabnya. Hal itu terjadi padaku jua.
***
Satu tahun yang lalu aku memutuskan
masuk universitas pada jurusan teknologi. Seperti biasa, ayah selalu mendukung
jalan yang aku pilih. Namun sikap kontra ditunjukkan kakek. Sudah jelas
tertebak, kakek menduga aku mengikuti jejak ayah di dunia teknologi, kakek
takut masa depanku berakhir seperti ayah, menjadi pegawai biasa yang tenaganya
dikuras perusahaan asing. Aku paham betul keinginan kakek. Tapi selain bidang
ini, tak ada lagi subject yang aku
kuasai.
Bukan aku tak ingin mengikuti akademi
kepolisian, tentara, atau sesuatu yang berbau bela negara. Hanya saja, fisikku
ini alasan utama. Tubuh kurus kering yang dibawa dari gen ayah dan panjang tubuh
yang sedang-sedang saja dari ibu membuatku seperti pria penderita
penyakit kronis. Tentu saja itu tak menmcukupi persyaratan.
***
Akhirnya dengan pertimbangan yang
matang, aku memutuskan mengikuti kata hati. Aku memilih kuliah di pulau
seberang. Kututup rapat-rapat telinga, mata, dan mulutku. Sama sekali tak peduli
dengan penolakan kakek atau nasehat ayah yang berat melepasku pergi. Ini satu-satunya
cara. Kusampaikan betapa aku sangat menyayangi mereka dan sangat ingin mereka
menjadi akur kembali lewat sepucuk surat yang kuletakkan dimeja makan.
Aku tak pernah tahu, bagaimana surat
itu berakhir ditangan ayah dan kakek. Aku hanya mencoba tidak peduli. Inilah
kekuatan seorang remaja sepertiku. Kuakui kerasnya sifat kepalaku yang
diwariskan ayah kadang membuatku terlihat sangat egois. Sekali lagi, aku tidak
peduli.
Pada hari itu juga, telah terputuskan
olehku. Aku, cucu laki laki kakek, putra tunggal ayah, merantau ke pulau
seberang demi sebuah tujuan. Aku punya tujuan.
Dan pada detik itu juga, antara aku,
ayah, kakek, terbangun sebuah dinding besar yang seolah memisahkan kami.
***
Aku menuntut ilmu dengan giat. Pagi
hari kuhabiskan waktu untuk kuliah, sore harinya aku bekerja di perusahaan
asing yang berbasis teknologi. Terdengar mirip seperti ayah, tapi aku bukan
ayah dan aku punya tujuan lain untuk itu
Kuhabiskan hari-hari di
perantauan. Mendalami segala ilmu, belajar untuk berbagai kondisi, dan yang
paling penting pengasingan untuk mencari jati diri.
Aku mulai belajar banyak hal.
Perenungan akan semua kalimat ayah dan kakek kuresapi disini. Belajar alasan
mengapa kakek sangat mencintai tanah air ini. Mencari tahu mengapa ayah seolah
tak ingin mencintai negara ini. Bagaimana mungkin ayah dan kakek bertahun-tahun hidup
dalam keadaan seperti itu. Mengapa kakek tidak menyerah saja kepada ayah? Toh ayah tak mungkin melepaskan
pekerjaan yang sudah menghidupinya selama ini. mencintai negara ini, tanah air
ini... apakah harus menjadi aparat negara? Yang berjuang di medan perang, yang
bediri paling depan untuk membela? Ataukah mereka yang berbaris dibelakang?
Mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki logika mereka untuk menyusun
strategi? Ataukah mereka dengan barisan damai yang mengatas-namakan
agama?
Semakin kuresapi, semakin aku bingung
dibuatnya. Kita memang tak seharusnya mengerti pola pikir orang lain dengan
teori. Tapi mencoba mengerti bagaimana menjadi bagian dari diri mereka.
Dan aku menemukan semuanya disini.
Ketika waktu merubahku menjadi kakek, dan ada kalanya aku dituntut menjadi
ayah.
Tak jarang kejadian-kejadian
kecil seperti demo mahasiswa yang mengatas-namakan pembelaan negeri ini membuatku
kembali teringat kakek. Atau segelintir kecil mahasiswa yang berfikir bahwa
membela negara tak melulu soal berdiri paling depan dimedan perang, tapi
mengerahkan seluruh kemampuan otak dan logika untuk menyusun strategi yang
benar-benar
mengingatkanku pada ayah.
Lantas apa yang harus kulakukan?
***
Kulakukan seluruh kemampuan terbaikku
disini. Tujuanku hanya satu, kakek dan ayah.
Aku lulus tepat waktu, setelah empat
tahun mengenyam pendidikan di universitas, aku diterima kerja disebuah
perusahaan asing terkemuka yang berbasis terknologi. Untuk saat ini aku masih
berada dipihak ayah.
Aku mempertajam kinerjaku, bagaimanapun
juga aku ingin menonjol di bidang ini, satu-satunya bidang yang aku kuasai.
***
Satu tahun waktuku tersita di
perusahaan ini. Hingga titik cerah itu pun muncul. Seorang atasan memberikan
tawaran beasiswa diluar negeri. Ini kesempatanku menjadi master.
Aku mengambil beasiswa itu. Mati-matian
kukejar hingga ke negeri sakura, Jepang.
Setelah lulus, satu per satu pekerjaan
seperti menungguku. Tawaran membuat game online, programmer, sampai manager
perusahaan silih berganti padaku.
Tapi demi satu tujuan yang telah kuidam-idamkan
sejak lama, kutolak semua pekerjaan itu.
Aku bekerja sendiri, di flat kecil milikku. Aku bekerja sama
dengan beberapa perusahaan untuk membuat beberapa game dan memasarkannya secara
komersial.
Walau sempat mendapat beberapa
penolakan, usahaku mendapat balasan yang indah. Ada sebuah perusahaan yang mau
memasarkan hasil kerjaku untuk diproduksi secara komersial.
Aku memproduksi beberapa game online
dengan tema Indonesia tempo dulu yang kukemas secara modern. Aku berharap anak-anak bangsa
tahu tentang sejarah negara mereka. ‘Teknologi itu penting, tapi sejarah adalah
kunci teknologi itu sendiri’.
***
Tujuanku hanya satu, kakek dan ayah.
Aku memadukan keduanya, aku bekerja seperti ayah dan menyampaikan pesan kakek.
Bahwa setiap pemuda di negeri ini harus tahu sejarahnya, harus tahu bagaimana
membela negaranya dan banyak cara untuk itu.
Semua kerja keras ini kuperuntukkan
untuk keduanya. Kakek dan ayah, dua lelaki paruh baya kesukaanku.
Bagaimanapun keadaannya, bagaimanpun
tembok keras yang mencoba menghalangi hubungan kami, ayah dan kakek tetaplah
manusia favoritku didunia ini. Aku harap mereka tahu.
***
Tamat
P.S :
Lagi mencoba menulis serius, jadinya malah seperti ini. Cerita pendek ini
pernah diikutsertakan dalam kompetisi menulis, dan tentu saja bukan juaranya
haha. Kritik, saran, masukan, tambahan, atau kurangan bisa langsung dilayangkan
di bawah ini yaa. Anyway, thank you so much much much more yang udah baca
postingan ala kadarnya ini. Bye!!